Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Itu Bernama Pizza

Makanan yang asal aselinya berasal dari kota Napoli, Itali ini, sangat terkenal di kota-kota besar macam Jakarta maupun kota-kota besar lainnya. Pizza juga dapat dijadikan sebagai makanan camilan. Pizza juga termasuk salah satu makanan instan penyebab naiknya kadar kolesterol dan juga kanker (KANtong KERing). Karena harganya mencapai lima kali lipat dari harga sebungkus nasi Padang.


Sebagian besar masyarakat pedesaan banyak yang belum mengenal makanan yang satu ini. Selain harganya yang menguras kantong jauh lebih dalam dan juga masih sangat jarang ditemui di pedesaan, rasa pizza juga masih terasa asing di lidah mereka. Makanya orang-orang di pedesaan jauh lebih sehat dibanding orang-orang perkotaan. Karena mereka lebih memilih makanan alami dan lebih menyehatkan, macam singkong, ubi, lalapan dan buah2an. 
Pizza berpose bersama fans beratnya

Saya mulai mengenal pizza saat masih kecil. Rasa kejunya yang dominan dan campuran beberapa potong daging sapi dan mashroom (jamur) menjadikannya lezat di lidah. Mulai saat itu saya ketagihan akan harumnya keju khas dari pizza.

Berhubung waktu itu saya masih sekolah, jadi belum mampu untuk beli pizza sendiri. Padahal otak saya ini sudah dipenuhi keinginan dan harapan pizza dan pizza. Sehingga timbul cita-cita : "Kalo sudah kerja, mau beli pizza sepuasnya". 

Sampai pada akhirnya masa kerja, sayapun bisa bebas sepuasnya makan pizza. Sehingga setiap ada kesempatan dan rezeki lebih, saya selalu menyisipkan pizza kedalam daftar jajanan bulanan. 

Biasanya saya membelinya saat masih tanggal muda. Terkadang juga nyicipin hasil traktiran teman-teman di kantor. Sekali makan bisa menghabiskan empat sampe lima  potong, meskipun masih masuk dalam kategori normal dan hasilnya pun lumayan dapat membuat segerombolan cacing dalam perut tenang sementara untuk beberapa jam kedepan.

Sampai sekarang pun masih sempat beli pizza saat ada rezeki lebih. Apalagi di kantor sering ada teman yang ultah, maka tradisi traktir mentraktir pun mencuat. Otak pizza pun langsung nongol dari isi kepala. Maka pizza pun menjadi pilihan menu traktiran setelah proses perundingan yang cukup lama dan alot.

Entah kenapa saya begitu menyukai makanan yang satu ini. Kalo saja seandainya saya terus  memperturutkan hawa nafsu untuk beli pizza, dapat dipastikan akan membahayakan stabilitas kantong dan dapat juga menaikkan kadar kolesterol saya. Takut ketagihan bertambah akut dan khawatir akan terus-terusan merogoh kantong lebih dalam sehingga mengganggu stabilitas ekonomi. Namun disisi yang lain, saya masih begitu menggilainya, terutama rasa kejunya.

Ini cerita Saya, mana cerita Anda...

Hmmm... sungguh suatu dilema buat saya..

Posting Komentar untuk "Dilema Itu Bernama Pizza"